BRAKK!
Bau debu dari buku-buku lama dan barang-barang antik,
mengalir menusuk hidungku. Tanganku mencoba meraih di dalam gulita, mencari
saklar lampu di permukaan dinding berbeledu. Ketika tiba-tiba, aku merasa sebuah
saklar tepat dibawah jari-jariku. Aku menekan tombolnya. CLIK! Hmm… Tak ada yang terjadi. Clik! Clik! sekali lagi kuulangi.
“Ayah! Lampunya tidak bisa nyala.” aku memanggil
keluar, sedikit sebal kepada ayahku yang sedang membongkar garasi mobil
kami.
Meskipun suasana rumah yang baru saja kami ambil
alih dari pemiliknya yang sudah renta, terasa sangat membosankan dan tua, ayah
dan ibu masih saja girang untuk pindah ke tempat ini. “Ah, tidak apa-apa kok,
sayang. Nanti ayah panggilkan tukang listrik kan gampang.” ayah menjawab,
senyum lebar terpampang di wajahnya, berjalan menghampiriku sambil memberikanku
tas duffel ungu .
Wajahnya berbelepot oli kering dan debu.
Aku tidak menunjukan wajah berperasaan sama sekali,
tanpa memberi jawaban kepada ayah, aku seakan menyeburkan diri ke dalam
kegelapan, tak peduli lagi. Suara sepatu bootku memukul anak tangga tua menuju
ke lantai dua, terdengar di dalam kegelapan ruangan. Semetara kedua tanganku tetap
meraba ke sekeliling, mencari jalan menuju kamarku di loteng.
Clop, clop, clop.
Selama berjalan menuju kamar loteng, aku sering menabrak furnitur antik yang ditempatkan
di sepanjang lorong. “Ugh, kenapa sih banyak sekali furnitur disini? Aku pikir
semuanya sudah dibuang atau dipindahkan ke tempat lain.” gerutu-ku.
Perjalanan menuju kamarku lumayan jauh. Mungkin
karena berjalan dalam kegelapan, pikirku. Akhirnya, tanganku merasakan sesuatu
bulat dan licin, menonjol dari permukaan yang sedikit kasar.
Aku menduga benda
ini adalah pintu kamar loteng; aku memutar kenop pintu tersebut dan
mendorongnya. Suaranya menghasilkan suara denyit tua yang menyeramkan. Sesuatu
berhasil menerangi ruangan. Cahaya yang masuk melalui jendela, dari balik
juntai tirai kelabu. Ah, mengapa harus kelabu, aku tidak menyukainya. Begitu
suram. Aku bisa melihat keseluruh ruangan. setiap sudutnya meski cahaya kecil
itu muncul dan tenggelam karena sapuan angin meniup tirai. menutup cahaya dan
terbuka lagi. Aku lupa menutup jendela kamar sore tadi.
Sebuah
ranjang besar dengan kanopi merah velvet dan tiang-tiang berukir anggur dengan
hiasan daun sulur, lemari antik besar kokoh coklat tua, dua pasangan kursi
berlengan dengan kain penutup warna tanah dan sebuah meja kopi di ujung ruangan
dekat jendela putih berhias tirai penutup dua lapis. Satu sisi tembok dipenuhi rak
buku putih menempel yang dilengkapi deretan buku-buku lama; membungkus atmosfir
dengan bau buku lama. Semua barang-barang ini cukup menangkap perhatianku,
tetapi tidak sebanyak perhatianku pada foto dalam pigora tua yang menggantung
miring di tembok kamar bagian sisi kiri dan kanan tempat tidur besar. Di foto
itu terdapat seorang anak kecil berkepang dan berbaju gaun putih sederhana.
Ia terlihat cantik, pikirku sambil bersenyum kecil.
Di ujung mataku, aku kira aku telah melihat sebuah bayangan anak kecil di pojok
ruangan; aku berputar memindai area tersebut untuk mencari petunjuk di sekitar
tempat itu. Sayangnya, bayangan itu hanya imaginasiku. Atau… mungkin tidak?
***
Pagi hari berikutnya, di awal pagi, ibu dan ayah
sedang mengurus pajak rumah kami ke kota. Adikku masih terlihat tenang membaca novel
mini kesukaannya diata ayunan ranjang teras belakang. Sementara itu, aku sedang
mengeksplorasi taman belakang, sambil memainkan permainan hopscotch. Pada saat
itu, yang kukira hanya khayalanku belaka, ada seorang anak yang persis mirip
dengan anak perempuan di foto di kamarku, sedang berlari-lari melewatiku dan
menghilang di area pepohonan lebat, hutan pinus belakang rumah.
“Hah?!” aku terlonjak kaget kebelakang. aku bertanya
kepada diriku sendiri, “Siapa sebenarnya gadis ini?” mengetuk dagu dengan
jariku, memperhatikan deretan pohon pinus, tempat gadis itu ditelan tak bersisa
bayangannya.
***
Makan malam tiba, dan kita semua sedang asyik
menikmati puding cokelat di ruang makan. Aku mengangkat suaraku. Kuceritakan tentang
anak perempuan yang aku lihat sejak kami pindah. Adikku, Emily, berpikir bahwa
itu hanya khayalan konyolku saja, dan dia mungkin saja benar.
“Emily benar, Penelope. Mungkin itu hanya sekedar
imaginasi-mu saja.” ibu mengangguk, setuju, memanggilku dengan nama panjangku.
Ayah pun ikut setuju.
“Ya,” aku menggantung kepalaku, menatap lantai,
“mungkin saja.”
Sambil merapikan bantal dan ranjang, aku
menyenandungkan lagu Celine Dion yang dimainkan di radio. Malam itu, semua
orang dirumah sedang tidur di lantai bawah, kecuali aku yang masih tetap terbangun,
mendengarkan radio tua yang tidak dipakai di kamar itu. Tiba-tiba channel radio
berubah kacau balau. Percakapan-percakan orang dalam berita, dan lirik-lirik lagu
terpotong-potong, seakan menyusun kalimat.
“Kamu harus.”
seorang pembawa acara berkata, lalu dipotong. “Pergi. Dari sini. Dia akan. Membunuh. Mu.” mulai dari
selebriti, nara sumber talkshow, dan
polisi berbicara dalam satu kalimat yang membuatku gugup.
Saat itu juga, aku merasa kakiku diseret. Sesosok
seperti pria besar dengan jari-jari panjang dan tajam, badannya tinggi, matanya
merah, dan dia membawa pisau yang sudah diasah tajam, menarikku kasar. Aku
tidak bisa berteriak, tidak bisa menjerit untuk meminta bantuan; suaraku
tenggelam, tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantuku, aku diam saja,
menatap kosong pada makhluk tersebut.
“Tolong.” aku hanya bisa berbisik dengan suara yang
serak.
Makhluk itu menyeretku sampai ke ruang kloset, dan
melemparku kedalam ruangan gelap. Kedua tanganku diikat dengan tali coklat. Aku
bukan penggemar kegelapan, tapi jika terpaksa, aku tidak keberatan. Tiba-tiba,
pintu terbuka lebar, menunjukkan sosok anak perempuan seperti anak yang berada
di foto di kamarku. Ia tersenyum manis, berjalan pelan-pelan menuju ke arahku,
dan memberikanku sebuah pisau.
Aku menggambilnya dengan telapak tanganku yang agak
longar, dan memotong tali yang mengikat. Bebas! aku memberinya ucapan terima
kasih, sebelum meluncur ke lantai bawah, mencari orang tua dan adikku. Aku
tidak meninggalkan satu pun tempat yang belum aku cari. Tapi, tidak ada
tanda-tanda dimana mereka berada atau kemana mereka pergi. Saat aku mulai
kehilangan harapan, aku mendengar tembakan keras dari lantai atas. Aku segera
berlari menuju tempat dimana suara itu berasal, dan menemukan pria yang mencoba
membunuhku di lantai dengan lubang peluru di dadanya.
Ayah, ibu, dan adikku
semua ada di sebelahnya, duduk ketakutan. Tidak ada satu pun dari mereka
membawa pistol.
Aku tersenyum lega; keluargaku diselamatkan oleh
hantu perempuan.
Suara pintu depan terbuka terdengar dari lantai
atas, hantu itu pergi keluar dari rumah. Dia sekarang bebas dari tugasnya untuk
membunuh siapapun pria itu. Tugasnya untuk menyelamatkan keluarga yang akan
tinggal dirumah ini selesai.
No comments:
Post a Comment