Monday, November 30, 2015

The Picture in My Bedroom

BRAKK!
Bau debu dari buku-buku lama dan barang-barang antik, mengalir menusuk hidungku. Tanganku mencoba meraih di dalam gulita, mencari saklar lampu di permukaan dinding berbeledu. Ketika tiba-tiba, aku merasa sebuah saklar tepat dibawah jari-jariku. Aku menekan tombolnya. CLIK! Hmm… Tak ada yang terjadi. Clik! Clik! sekali lagi kuulangi.

“Ayah! Lampunya tidak bisa nyala.” aku memanggil keluar, sedikit sebal kepada ayahku yang sedang membongkar garasi mobil kami.  

Meskipun suasana rumah yang baru saja kami ambil alih dari pemiliknya yang sudah renta, terasa sangat membosankan dan tua, ayah dan ibu masih saja girang untuk pindah ke tempat ini. “Ah, tidak apa-apa kok, sayang. Nanti ayah panggilkan tukang listrik kan gampang.” ayah menjawab, senyum lebar terpampang di wajahnya, berjalan menghampiriku sambil memberikanku tas duffel ungu . 
Wajahnya berbelepot oli kering dan debu.

Aku tidak menunjukan wajah berperasaan sama sekali, tanpa memberi jawaban kepada ayah, aku seakan menyeburkan diri ke dalam kegelapan, tak peduli lagi. Suara sepatu bootku memukul anak tangga tua menuju ke lantai dua, terdengar di dalam kegelapan ruangan. Semetara kedua tanganku tetap meraba ke sekeliling, mencari jalan menuju kamarku di loteng.

Clop, clop, clop.

Selama berjalan menuju kamar loteng, aku sering menabrak furnitur antik yang ditempatkan di sepanjang lorong. “Ugh, kenapa sih banyak sekali furnitur disini? Aku pikir semuanya sudah dibuang atau dipindahkan ke tempat lain.” gerutu-ku.

Perjalanan menuju kamarku lumayan jauh. Mungkin karena berjalan dalam kegelapan, pikirku. Akhirnya, tanganku merasakan sesuatu bulat dan licin, menonjol dari permukaan yang sedikit kasar. 

Aku menduga benda ini adalah pintu kamar loteng; aku memutar kenop pintu tersebut dan mendorongnya. Suaranya menghasilkan suara denyit tua yang menyeramkan. Sesuatu berhasil menerangi ruangan. Cahaya yang masuk melalui jendela, dari balik juntai tirai kelabu. Ah, mengapa harus kelabu, aku tidak menyukainya. Begitu suram. Aku bisa melihat keseluruh ruangan. setiap sudutnya meski cahaya kecil itu muncul dan tenggelam karena sapuan angin meniup tirai. menutup cahaya dan terbuka lagi. Aku lupa menutup jendela kamar sore tadi.

Sebuah ranjang besar dengan kanopi merah velvet dan tiang-tiang berukir anggur dengan hiasan daun sulur, lemari antik besar kokoh coklat tua, dua pasangan kursi berlengan dengan kain penutup warna tanah dan sebuah meja kopi di ujung ruangan dekat jendela putih berhias tirai penutup dua lapis. Satu sisi tembok dipenuhi rak buku putih menempel yang dilengkapi deretan buku-buku lama; membungkus atmosfir dengan bau buku lama. Semua barang-barang ini cukup menangkap perhatianku, tetapi tidak sebanyak perhatianku pada foto dalam pigora tua yang menggantung miring di tembok kamar bagian sisi kiri dan kanan tempat tidur besar. Di foto itu terdapat seorang anak kecil berkepang dan berbaju gaun putih sederhana.

Ia terlihat cantik, pikirku sambil bersenyum kecil. Di ujung mataku, aku kira aku telah melihat sebuah bayangan anak kecil di pojok ruangan; aku berputar memindai area tersebut untuk mencari petunjuk di sekitar tempat itu. Sayangnya, bayangan itu hanya imaginasiku. Atau… mungkin tidak?

***

Pagi hari berikutnya, di awal pagi, ibu dan ayah sedang mengurus pajak rumah kami ke kota. Adikku masih terlihat tenang membaca novel mini kesukaannya diata ayunan ranjang teras belakang. Sementara itu, aku sedang mengeksplorasi taman belakang, sambil memainkan permainan hopscotch. Pada saat itu, yang kukira hanya khayalanku belaka, ada seorang anak yang persis mirip dengan anak perempuan di foto di kamarku, sedang berlari-lari melewatiku dan menghilang di area pepohonan lebat, hutan pinus belakang rumah.

“Hah?!” aku terlonjak kaget kebelakang. aku bertanya kepada diriku sendiri, “Siapa sebenarnya gadis ini?” mengetuk dagu dengan jariku, memperhatikan deretan pohon pinus, tempat gadis itu ditelan tak bersisa bayangannya.

***

Makan malam tiba, dan kita semua sedang asyik menikmati puding cokelat di ruang makan. Aku mengangkat suaraku. Kuceritakan tentang anak perempuan yang aku lihat sejak kami pindah. Adikku, Emily, berpikir bahwa itu hanya khayalan konyolku saja, dan dia mungkin saja benar.

“Emily benar, Penelope. Mungkin itu hanya sekedar imaginasi-mu saja.” ibu mengangguk, setuju, memanggilku dengan nama panjangku. Ayah pun ikut setuju.

“Ya,” aku menggantung kepalaku, menatap lantai, “mungkin saja.”

Sambil merapikan bantal dan ranjang, aku menyenandungkan lagu Celine Dion yang dimainkan di radio. Malam itu, semua orang dirumah sedang tidur di lantai bawah, kecuali aku yang masih tetap terbangun, mendengarkan radio tua yang tidak dipakai di kamar itu. Tiba-tiba channel radio berubah kacau balau. Percakapan-percakan orang dalam berita, dan lirik-lirik lagu terpotong-potong, seakan menyusun kalimat.

Kamu harus.” seorang pembawa acara berkata, lalu dipotong. “Pergi. Dari sini. Dia akan. Membunuh. Mu.” mulai dari selebriti, nara sumber talkshow, dan polisi berbicara dalam satu kalimat yang membuatku gugup.

Saat itu juga, aku merasa kakiku diseret. Sesosok seperti pria besar dengan jari-jari panjang dan tajam, badannya tinggi, matanya merah, dan dia membawa pisau yang sudah diasah tajam, menarikku kasar. Aku tidak bisa berteriak, tidak bisa menjerit untuk meminta bantuan; suaraku tenggelam, tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantuku, aku diam saja, menatap kosong pada makhluk tersebut.

“Tolong.” aku hanya bisa berbisik dengan suara yang serak.    
Makhluk itu menyeretku sampai ke ruang kloset, dan melemparku kedalam ruangan gelap. Kedua tanganku diikat dengan tali coklat. Aku bukan penggemar kegelapan, tapi jika terpaksa, aku tidak keberatan. Tiba-tiba, pintu terbuka lebar, menunjukkan sosok anak perempuan seperti anak yang berada di foto di kamarku. Ia tersenyum manis, berjalan pelan-pelan menuju ke arahku, dan memberikanku sebuah pisau.

Aku menggambilnya dengan telapak tanganku yang agak longar, dan memotong tali yang mengikat. Bebas! aku memberinya ucapan terima kasih, sebelum meluncur ke lantai bawah, mencari orang tua dan adikku. Aku tidak meninggalkan satu pun tempat yang belum aku cari. Tapi, tidak ada tanda-tanda dimana mereka berada atau kemana mereka pergi. Saat aku mulai kehilangan harapan, aku mendengar tembakan keras dari lantai atas. Aku segera berlari menuju tempat dimana suara itu berasal, dan menemukan pria yang mencoba membunuhku di lantai dengan lubang peluru di dadanya. 
Ayah, ibu, dan adikku semua ada di sebelahnya, duduk ketakutan. Tidak ada satu pun dari mereka membawa pistol.

Aku tersenyum lega; keluargaku diselamatkan oleh hantu perempuan.

Suara pintu depan terbuka terdengar dari lantai atas, hantu itu pergi keluar dari rumah. Dia sekarang bebas dari tugasnya untuk membunuh siapapun pria itu. Tugasnya untuk menyelamatkan keluarga yang akan tinggal dirumah ini selesai. 

No comments:

Post a Comment